Aku ditakdirkan menjadi ragil dari 3 bersaudara. Mas, mbak dan aku. Dilahirkan
disebuah desa di kota kecil dimana banyak peninggalan sejarah Kerajaan
Majapahit ditemukan yaitu Mojokerto. Alhamdulillah
Allah takdirkan aku hidup dikeluarga sederhana ini. Kami tidak lebih namun
ketika butuh Alhamdulillah Allah
cukupkan.
Sepenggal hidup yang tak terlupakan adalah kala Allah takdirkan aku
diterima di sekolah terbaik dikota ini, dan menjadi titik tolak aku berhijrah. Proses
hijrahku berjalan tentu tidak mulus
begitu saja, tantangan justru dari keluargaku, terutama soal berpakaian. Dahulu
masih belum terlalu booming komunitas
hijaber dengan segala pernak-pernik
hijabnya seperti sekarang ini. kalau ada yang berjilbab lebar, masihlah cukup
asing di sekolah maupun dilingkungan rumahku. Namun proses waktu Alhamdulillah, mereka malah berbalik
mendukungku berpakaian menutup aurat sempurna.
Semangat hijrah ini semakin membara ketika aku sudah memasuki dunia
kampus, meskipun aku tidak diterima diPTN Pilihan 1,2 namun aku masih bisa
menikmati tholabul ilmi di PTN pilihan ke 3 ku yaitu sebuah kampus negeri yang
mencetakku menjadi seorang guru. Dan saat itu pilihanku jatuh ke jurusan Bahasa Inggris. Meskipun
bukan jurusan yang diinginkan keluargaku, tapi aku sudah bersyukur diterima di
PTN. Dan oleh karenanya keluargaku masih
menyarankan ikut seleksi masuk PTN lagi tahun depan, yang sesuai dengan keinginan mereka.
Sebenarnya aku sudah berpikir, apa yang Allah takdirkan aku dikampus ini
tidak luput dari takdir yang akan mengikutinya. Kalaupun aku ikut seleksi lagi tahun
depan dan aku ketrima di PTN baru, pasti Allah juga punya rencana dan
takdir lain yang mengikuti. Ya sudahlah, tidak mengapa. Dan mumpung aku disini, diberi Allah kesempatan belajar di kampus ini maka harus kumanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Aktivitasku tidak hanya belajar namun disini yaitu jurusan Bahasa inggris di fakultas Bahasa aku menambah ilmu dengan ikut organisasi, seperti SKI dan BEM.
Meskipun sejak sekolah dulu sudah belajar organisasi, namun di kampus
ini aku merasa baru belajar organisasi. Ada banyak hal yang belum ku ketahui. Saat itu organisasi
keislaman menjadi salah satu pilihanku agar aku banyak belajar keislaman lebih jauh lagi,
dan tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tapi juga orang lain. Disini aku
mulai belajar dari menjadi seorang mentee
(adik yunior di di organisasi) hingga jadi mentor
(senior yang biasanya menjadi penanggung jawab mentee) dan sebagainya. Bahkan
lulus dari kampus ini pun aku masih belajar ikut pengajian bersama teman-teman
ini.
Ketika aku menjadi seorang mentor
sudah barang tentu aku menjadi sosok mbak yang harus bisa mengayomi adik-adik
menteeku, meskipun belum bisa jadi contoh yang baik buat mereka. Suatu ketika aku harus menyampaikan materi mentoring bagaimana cara menjaga diri dan keluarga adalah dengan menikah.
Namun saat itu akupun sendiri belum menikah.
Meskipun belum menikah, aku sudah berusaha menitip
biodata adik - adikku ke ustadz kami
yang biasa mengisi pengajian dimasjid kampus atau di jurusan. Sebut saja ustadz A. Alhamdulillah,
beberapa dari mereka berjodoh. Saat itu mereka rata-rata sudah
lulus atau baru lulus. Hingga kisah
menarik saat taaruf sering terjadi
ketika aku mendampingi. Karena mereka adik menteeku maka otomatis akupun harus mendampingi proses mereka
meskipun usiaku tak terpaut jauh dengan mereka. Namun Alhamdulillah, tidak sendiri ditemani
oleh ustadz dan istrinya.
Nah hampir di setiap berangkat taaruf,
seperti biasa aku membonceng adik menteeku
ini ke rumah seorang ustadz A. Nah di awal pembukaan taaruf setelah tilawah dsb biasanya ustadz mengenalkan aku juga,
dan beliau seringnya guyon “hati-hati awas
keliru, mbak nya juga belum menikah”. Gerr…otomatis ketawa kami memecahkan
kebekuan suasana taaruf. Dalam proses ini, adik-adik menteeku rata-rata tidak mau
bicara, sepertinya karena nerveos. Alhasil
kadang aku harus mewakilinya, bahkan kejadian geser-menggeser tempat duduk mereka
karena tidak mau pindah posisi pas nadhor
pun sering terjadi.
Apa dikira aku tidak nervous meskipun mewakili? iya tapi sedikit,
mungkin karena aku belum pada posisi mereka. Hingga suatu ketika di ajang
taaruf dimana kami posisi dengan hijab atau pembatas cukup tinggi dan sama sekali tidak bisa
melihat satu sama lain, hingga nadzor disepakati dengan cara kami yang akhwat (putri) harus pulang duluan, dengan di atur jalannya. Bahwa yang taaruf adalah yang jalan nomer 2, yang nomer 1 itu
yang antar. Lagi-lagi ustadz bilang awas keliru. Duh sedihnya!
Berkali-kali mendampingi taaruf menjadikanku
banyak belajar, bahkan menjadi “dewasa”
(red.tua) sebelum waktunya. Karena yang biasa mentaarufkan pastinya sudah
menikah atau sudah berumur. Sedang aku baru juga lulus kuliah 3 tahun sudah
dianggap sesepuh alias (sepuh kali ya)
waktu itu. Alhamdulillahnya didampingi keluarga ustadz dan ustdzah didaerah tak jauh dari kampusku.
Dan karena seringnya rumah beliau dijadikan tempat taaruf maka mendapat julukan ”rumah
taaruf”
Pengalaman mendampingi taaruf sebelum menikah tak menjadikan aku bisa
menguasai diri saat taarufku sendiri. Pertama kali ku terima biodata laki-laki
ini, tak langsung membuatku berani langsung membuka datanya. Kebetulan pisan
biodatanya berbentuk soft file. Ustadzahku hanya bilang ini laki-laki
dari kampus sebrang, dan tentang agama yang dicari ga usah ditanyakan. Padat dan
singkat, kata ustadzahku. Dan belakangan setelah melihat biodatanya,
baru ku ingat laki-laki yang mau taaruf
ini tidak kukenal sebelumnya aku hanya tahu ia ketua LDK dikampusnya. dan
kampusku pernah mengundangnya di acara upgrading
anggota organisasi. Saat itu kebetulan aku sie acaranya, dan aku yang menghubungi itupun
lewat sms. Dan hanya itu saja tanpa bla-bla. Saat acara berlangsungpun entah
karena kesibukanku sebagai sie acara aku harus meninggalkan forum dan tak
melihatnya ataupun bagaimana cara mengisinya. Dan setelah itu tak ada komunikasi
lagi.
Setelah membaca biodatanya yang berlembar-lembar kemudian aku mohon
petunjuk sama Allah agar diberi jawaban lanjut atau tidaknya. Akhirnya setelah
mantap akupun bilang lanjut ke ustadzah.
Dan hari taarufpun ditetapkan. Sebelum berangkat taaruf pun aku mencoba menulis
apa saja yang bakal aku tanyakan ke laki-laki ini. Tentu saja kali ini aku
berangkat sendiri, eh ternyata rasa nervous
itu sudah kualami semenjak aku mau berangkat. Lho, berarti adik-adk menteeku
dulu juga kayak begitu. Sampai sepanjang jalan kadang mereka bilang “mi aku nanti ngomong apa?” tenang
jawabku. Eh ternyata aku sendiri tidak tenang.
Tibalah saat taaruf, setelah dibuka
tilawah dan prolog dari ustadz,
akhirnya diberikan kepada laki-laki dulu untuk bertanya barangkali ada yang
belum jelas dari biodata. Dan laki-laki yang kini menjadi suamiku ini bilang. “Bismillah, selama beberapa pekan ini saya
sudah mencari informasi tambahan tentang mb ….dan Alhamdulillah sudah cukup
ustadz”. katanya.
Aku pun terkaget dan ketika waktu bicara diberikan kepadaku, notes yang ku pegang dengan tangan
sedikit gemetar yang isinya pertanyaan yang mau kutanyakan tadi tidak jadi pula
kutanyakan. Pikirku lah dia saja ga tanya, masak deretan pertanyaan ini mau ku
tanyakan. Aku terdiam beberapa menit, selain masih gemetar akupun merasa
bingung. Dan ustadzah yang menyadari aku ternyata duduk mojok dibalik rak buku
ini sedikit menarikku agar geser sedikit biar lebih terlihat. Namun aku
menolaknya dengan sopan. Dan akupun menyampaikan tidak ada yang kutanyakan. Sang
ustadz bingung juga kaget, lah ini
jauh-jauh kesini kok malah ga ada yang ditanyakan. “Masak taaruf ini ga ada 10
menit.” Potong ustadz.
Setelah proses taaruf itupun
akhirnya selang waktu 3 bulan kami menikah. Darinya aku banyak belajar,
termasuk menumbuhkan passion menulis ini. Terutama saat mendengar kisah beliau
menjelajah Indonesia ini semakin memantapkan diri ingin menulis kisahnya,
karena kisahku dibanding pengalaman hidupnya tidak ada apa-apanya.
Dibalik cita-cita
besar ikatan suci ini adalah, kami bisa menjadi bagian penyokong peradapan menuju perbaikan umat. Bersatunya kami karena suatu kebaikan, maka
kamipun tak ingin jauh dari kebaikan itu sendiri. Dan kembali tekad kami kencangkan, tak ada yang bisa kami banggakan di yaumil akhir nanti jika kami hidup nafsi-nafsi
untuk kesenangan kami pribadi. Maka bermanfaat untuk orang lain dan umat
menjadi tujuan utama kami, demi menggapai ridho ilahi. wallohualam.
NB: Mohon
maaf jika autobiography ini jika ada kesan berlebih atau kurang di hati sobat sekalian.
Semoga Allah jauhkan dari kesombongan,
dan berlebihan. Insya Allah ini Cerita nyata.
#ODOP
#One Day One Post
#ODOPCHALLENGE3