Teringat
sebuah kisah dua orang yang tetanggaan sebut saja bapak A dan bapak B. Masa pensiun,
mereka ingin mereka isi dengan sesuatu
yang menghibur mereka menuju hari tua yaitu bercocok tanam. Ternyata waktu berjalan Bapak A dan bapak B
ini mempunyai mindset yang berbeda
soal bercocok tanam. Bapak A merawat tanamannya penuh maksimal, memberinya
pupuk, menyiraminya, menyiangi rumput liar serta perlakuan istimewa lainnya. Termasuk
pemilihan dan pengolahan lahan yang akan ditanami. Sedangkan bapak B, memilih
bercocok tanam dengan lahan yang jauh dari rumah, terkesan dibiarkan, sesekali
saja ia kunjungi dan ia siram.
Time flies, tanaman
bapak A menjadi tanaman yang subur dan menyenangkan dan indah dipandang. Sedangkan
tanaman bapak B, kurang subur dan kurang segar. Hari berganti, suatu ketika ada
badai besar menyapa kota itu termasuk tanaman bapak A dan B tadi. Setelah badai
selesai bapak A dan bapak B pun segera melihat tanaman mereka. Ternyata apa
yang terjadi? Betapa kagetnya, bapak A tanamannya rusak porak poranda dihempas
badai, sedangkan tanaman bapak B hanya sedikit saja yang rusak. Setelah di
teliti, ternyata tanaman bapak A rusak karena akar nya kurang kuat, ia terbiasa
disirami, dipelihara dengan baik, sehingga akar kurang ada usaha menerobos
tanah mencari air, karena selama ini ia mudah mendapat makanannnya. Sedangkan tanaman
bapak B sedikit yang rusak, dibalik kekurangseringnya bapak B menyirami,
membuat akar tanaman bapak B mencari jalan, menembus terjalnya tanah mencari
air agar mereka bisa hidup.
Dari
sini kisah ini di hubungkan bagaimana kita mendidik anak menjadi pribadi yang survive. ketika anak dicukupi semua
kebutuhannya dengan mudah, hari ini minta A kita langsung belikan tanpa ia
harus berjuang, besok minta B, langsung saja kita belikan tanpa pula ia harus
mengerjakan sesuatu yang yang menjadi challenge
untuk dia. Apalagi ditambah bumbu rengekan dan tangisan disetiap permintaan. Maka
ini akan menjadi password buat mereka
untuk minta sesuatu berikutnya. Anak-anak tersebut tidak tertantang sama sekali dengan sebuah perjuangan.
Apalagi
jika ada orang lain ditengah-tengah perjuangan kita mendidik. Misal kita tidak
memperbolehkan dia bermain gadjet
sebelum masa liburan sabtu-ahad, eh
ada kakek nenek yang berkunjung kerumah kita, seperti yang kita tahu kakek
nenek itu sayangnya ke cucu melebihi apapaun, karena tidak tega melihat
anak-anak menangis. Akhirnya diberikannlah gadjed
untuk bermain mereka. Nah, ini akan menjadi ujian kesabaran kita
mendidik.
Sedangkan
jika kita memberi sesuatu kepada anak, sewajarnya, apalagi ketika ia dapat sesuatu
itu dengan memperjuangkannya dulu maka ini akan menjadi kebiasaan untuk mereka,
bahwa untuk memiliki sesuatu harus berjuang dulu. Dan ini akan diingat oleh
mereka, password nya jika “aku ingin sesuatu aku harus usaha”. Misal
jika anak ingin mendapatkan sepeda baru, harus hafal 1 juz Alquran, ingin
sepatu baru harus mendapat juara 1 dsb.
Mari
sobat sekalian kita sama-sama belajar, mengajari anak survive adalah sebuah keharusan. Di kehidupan mendatang mereka akan
ketemu dengan tantangan yang maha dahsyat, yang tidak sama dengan kita. Dan kitapun
tidak seterusnya membersamai mereka. Antara tega dan tidak tega, demi kehidupan
yang lebih baik untuk mereka, kita harus tega. Kita tarik ulur bak layangan, kapan ia harus kita tarik
untuk diluruskan, kapan harus kita ulur talinya agar mereka semakin meninggi.
Mari kita didik anak-anak kita sesuai zamannya, karena zaman ini tantangannya
luar biasa maka kita biasakan mereka tertantang pula dalam menjalani hidup.
Jadi
ingat sebuah nasehat pakar parenting tentang mendidik anak-anak kita ini,
kesusahan kita hari ini mendidik anak maka akan memudahkan kita kelak dimasa
tua. Kemudahan kita mendidik anak, karena agar ia diam kita turuti saja apa
maunya, maka akan menyusahkan kita kelak dimasa tua kita. Wallohua`lam
Perumpannya tak habis pikir saya. Udah berprasangka buruk saja saya. Ternyata hikmahnya mendalam.
BalasHapusHiya, awal saya mendengar juga begitu kak, ternyata hikmahnya luarbiasa
Hapus